Tuhan Sudah Mati?



Tuhan Tidak Mati.

           Pemikir yang benar-benar berpijak pada teori ilmiah ilmu pengetahuan tidak akan mengingkari adanya Tuhan. Manusia modern sangat memerlukan Tuhan, sama dengan manusia kuno memerlukan Tuhan. Para filsuf modern yang cemerlang memberikan bukti-bukti dan dalil-dalil filosofis bahwa Tuhan itu ada. Contohnya Rene Descartes, Braise Pascal, dan Immanuel Kant. Mereka semua meyakini Tuhan itu ada.
         Rene Descartes misalnya, perkataannya yang paling terkenal adalah: Je pense donc je suisl Atau, Cogito ergo sum! I think hence I am! Artinya: Aku berpikir maka aku ada! Perkataannya itu, merupakan titik awal pembuktiannya bahwa Tuhan itu ada. Setelah mengatakan, aku berpikir maka aku ada, dia lantas berkata: 'Aku ini ada. Maka siapakah yang mengadakan aku dan menciptakan aku? Aku tidak menciptakan diriku sendiri. Oleh karena itu harus ada Dzat yang menjadikan berkesudahan. Dan Dia harus pula memiliki sifat-sifat kesempurnaan. Sungguh indah caranya membuktikan adanya Tuhan!
         Kemudian Braise Pascal, kecerdasannya mengantarkan pada kesimpulan bahwa Tuhan itu ada. Ia mengatakan, 'Pengetahuan kita tentang Tuhan termasuk salah satu pengetahuan pertama, yang tidak memerlukan perdebatan dalil-dalil pikiran. Karena aku bisa tidak ada, kalau ibuku meninggal dunia terlebih dahulu sebelum aku dilahirkan hidup. Jadi, aku bukan dzat yang wajib wujud, dan aku bukan selamanya ada. Aku bukan tidak berkesudahan. Karena itu harus ada dzat yang wajib wujud, yang ada selamanya, dan yang tidak berkesudahan, di mana wujudku bersandar kepadanya. Yaitu Tuhan. Yang kita ketahui wujud-Nya dengan pengetahuan pertama, tanpa merepotkan diri dalam perdebatan bukti-bukti alam pikiran!'
     Pengetahuan pertama yang dimaksud Pascal adalah fitrah murni dalam diri manusia. Yaitu pikiran-pikiran fitri yang terdapat dalam akal manusia yang dapat dilihat dengan jelas dan terang benderang tanpa membutuhkan pembuktian. Ialah pikiran yang secara otomatis dapat membedakan baik dan buruk, gelap dan terang, kebenaran dan kebatilan.
        Sedangkan Immanuel Kant, setelah dia membeberkan teorinya yang panjang, dia menyimpulkan bahwa, kebenaran adanya Tuhan adalah kebenaran postulat. Yaitu kebenaran tertinggi dalam tingkatan kebenaran. Kebenaran tak terbantahkan. Kebenaran yang berada di luar jangkauan indera, akal dan ilmu pengetahuan. Itulah yang disebut postulat, yaitu dalil teoretis yang berada di luar jangkauan pembuktian teoretis, yang oleh karenanya dapat disebut dalil kepercayaan!



Bangkitlah Manusia si Pemikir dari Aceh (homo sapiens dari Aceh)!


oleh: "tu-ngang" iskandar


Menceritakan tentang Aceh di hadapan kawan-kawan mahasiswa Aceh di Yogyakarta adalah suatu malu tersendiri bagi saya. Karena saya yakin bahwa pemuda-pemudi yang belajar ke luar Aceh telah membekali dirinya dengan identitas yang mapan tentang keAcehan, setidaknya pengetahuan yang cukup tentang realitas yang terjadi di Aceh saat ini, sebelum kemudian menunjukkan diri di hadapan oran-orang dari berbagai penjuru lain dan menyampaikan sesuatu tentang Aceh.
Walau sejujurnya saya juga ikut khawatir dalam berpikiran seperti di atas, karena sangat mungkin juga bahwa yang hadir di sini adalah kepala-kepala boh leupieng (kelapa yang dilobangi tupai atau yang labil berpegang pada tangkainya), yang hanya melakukan prosesi belajar karena di dorong oleh gaya-gayaan semata, agar dianggap keren dari kampung halamannya, agar dilihat sebagai orang yang memiliki pikiran atau otak. Namun pada kenyataannya hanyalah tengkorak tanpa isi, yang sangat mudah dimasuki oleh berbagai angin jahat dan liar dari tempat-tempat sampah, hingga tidak mampu mendeteksi dirinya sendiri sebagai manusia si pemikir (homo sapiens), dan lebih layak ditendang ke sana ke mari seperti halnya bola boh leupieng.
Manusia si pemikir dari Aceh (homo sapiens Aceh), menjadi harapan terakhir masyarakat Aceh atas berbagai kehancuran di Aceh, baik yang telah terjadi maupun yang sedang berlangsusng. Bahwa tiada jalan lain yang harus ditempuh untuk mengangkat orang Aceh ke tempat yang lebih menjanjikan, kecuali dengan sebuah kecerdasan dan kebijaksanaan (hasil berfikir) yang mapan. Apalagi kaum berpendidikan, yang jelas harus menggunakan otaknya itu untuk mengubah keadaan buruk menjadi baik, dan bukankah otak kita itu tidak sekedar untuk mengisi ruang kosong dalam tempurung kepala kita? Maka gunakanlah.
Pengembangan berfikir tentu bisa diukur dari cara kita bersikap terhadap lingkungan atau reaksi untuk berbagai ilmu pengetahuan yang terdapat di sekitar kita. Kepekaan terhadap sumber-sumber ilmu yang bergerak seperti dari pergaulan sosial ataupun dari sumber-sumber tetap lain seperti buku-buku sangat berpengaruh dalam mengasah berfikir dan membentuk karakter diri. Seseorang yang hanya menghabiskan waktu dengan bermain game di tempat tidur sehabis pulang kuliah tentu akan berbeda tingkat intelektualnya dibandingkan dengan orang yang memilih bergaul sambil berdiskusi tentang berbagai hal. Begitupun dengan orang-orang yang hanya sibuk bergaul, tanpa menyempatkan diri membaca buku-buku penting. Kenyataan bahwa orang-orang terbaik selalu muncul dibalik meja-meja diskusi dan rak buku.
Melakukan proses berfikir adalah juga suatu cara dalam membersihkan kabut tebal yang ada dalam kepala kita sendiri. Belajar adalah tentang suatu jalan yang kita tempuh dalam rangka menggapai pikiran kita yang utuh. Berbagai motivasi belajar jangan sampai menghapus berbagai hal penting yang ingin kita gapai di dunia ini. Karena seringkali kesia-siaan dalam berjuang itu muncul ketika dalam melakukan proses, motivasinya adalah bersifat badani dan personal semata. Makanan yang enak, pakaian mahal lagi bermerk, perempuan yang banyak, mobil dan rumah mewah, hiburan yang gemerlap, ketenaran, kekuasanan, atau uang yang melimpah, merupakan orientasi dari proses belajar yang kita tempuh ini. Orientasi yang menganggap bahwa kesempurnaan hidup atau kemerdekaan terletak pada kenikmatan badani itu telah berlaku pada pendahulu kita, dan sangat mungkin itu pun bisa terjadi pada kita, ketika kita dibutakan dengan kabut di dalam hati dan pikiran.
Merefleksikan itu semua, mari kita mundur sejenak menuju 1000 Tahun Sebelum Masehi (SM), di mana kesadaran besar telah muncul setelah kenikmatan yang sifatnya badani itu tidak mampu membuktikan apa-apa tentang kesempurnaan atau kemerdekaan hidup. Kesadaran itu terjadi pada orang Yunani, sebuah bangsa yang pada awalnya hanya menghabiskan hidup dengan meminum anggur, bermain perempuan, menikmati tarian perangsang birahi, menyanyi lagu-lagu yang dapat menyenangkan, dan berolahraga untuk tetap bisa menikmati kelezatan yang ternyata semu itu. Beruntunglah mereka, fajar kemudian menjemput, untuk beranjak dari kebodohan itu semua. Lalu ahli-ahli filsafat dan sejarah Yunani pun menulis buku-buku, menggubah seni-seni menjadi mencerahkan, dan muncul di mimbar-mimbar untuk berpidato. Di mana menjadi guru bagi sesamanya adalah jalan awal yang mereka tempuh, seperti halnya Jepang setelah bom Hiroshima. Sekarang, bukankah kita pun telah mengenal nama-nama besar yang mendunia dari Yunani, lewat pemikirannya yang mencerahkan, seperti Plato, Aristoteles, Socrates, Homerus, Aristophanes, Aeschylus, Thucydides, dan masih banyak lainnya.
Kesadaran puncak dalam menuju kesempurnaan hidup seperti yang ditunjukkan bangsa Yunani bukankah pernah juga dibuktikan oleh bangsa Aceh di masa lalu? Itu bisa kita lihat dari hadirnya kitab-kitab buatan ulama Aceh sampai ke pelosok-pelosok di Asia Tenggara, melalui hikayat-hikayat yang bisa membangunkan lelaki-lelaki Aceh dari empuknya kasur dan hangatnya pelukan istri untuk menuju medan tempur penuh sakit dan darah, lewat hadihmaja-hadihmaja yang sampai sekarang masih relevan diikuti, dan berbagai jenis ukiran-ukiran indah yang dapat mencerahkan seperti yang terdapat di batu-batu nisan Aceh.
Betapa besarnya pengaruh berfikir, hingga mampu merubah sebuah tatanan dunia. Lalu apakah selama ini kita membudayakan berfikir? atau setidaknya belajar cara berfikir? itu semua adalah pertanyaan yang seharusnya muncul pada diri yang mengaku sebagai kaum intelektual seperti mahasiswa. Berfikir memang selalu muncul ketika kita sedang menghadapi masalah. Tapi apakah otak kita terlalu kecil untuk menampung berbagai persoalan yang menyelimuti masyarakat banyak, hingga hanya mampu mendeteksi persoalan kita sendiri untuk dipikirkan dan diselesaikan sendiri. Ini terletak pada sejauhmana kebinatangan personal itu mampu kita taklukkan sendiri, lalu maju lebih jauh ke dalam sisi kemanusiaan.
Aceh Butuh Dipikirkan
Sebagaimana bangsa lainnya yang kita akui keberadaannya karena berfikir, bangsa Aceh juga harus mampu bangkit untuk menunjukkan bahwa Aceh itu masih “ada” dan bukan hanya sebagai nama dari salah satu provinsi di Indonesia, bukan juga karena di sana dengan mudahnya tumbuh ganja, bukan pula karena orang Aceh mampu berperang puluhan tahun lamanya, dan bukan juga karena tsunami pernah menghantam negeri paling barat Pulau Sumatra itu, melainkan “adanya” karena “Aceh itu berfikir”, seperti kata-kata yang dilontarkan oleh Rene Descartes, seorang filsuf ternama dari Perancis, yang berbunyi; “aku berfikir maka aku ada” (Latin: cogito ergo sum).
Memikirkan Aceh tentunya bisa dari manapun, termasuk dari balik Gunung Merapi ini sekalipun. Aceh layaklah kita pikirkan atau jika lebih hinanya kita dikasihani, sebagaimana seorang tua renta yang sedang mengemis untuk menunggu dipulihkan rasa sakitnya. Bukankah tidak ada tangan, hati, dan pikiran yang lebih dekat dengan Aceh selain anaknya sendiri? Itu adalah kita, “anak Aceh”. Sebagai anak Aceh, kita tidak sekedar dituntut untuk punya rasa tanggungjawab yang lebih, namun juga harus memiliki “rohnya Aceh”, sebagai identitas; seperti ketangguhan dalam mental, keteguhan dalam mempertahankan kebenaran, dan kesetiaan pada perintah Tuhan. Dan selama kita mempunyai ilmu, ditambah dengan iman, tidak mungkin kebodohan yang bersenjata dan kelaliman yang kuat itu menang. Yang dibutuhkan adalah saling mendukung dan bukan melakukan pembunuhan karakter atau saling menekan kemajuan sesama. Orang-orang terdekat harus menjadi pendorong dan guru yang baik dalam proses belajar atau untuk menuju kesuksesan di berbagai bidang. Bukankah kehebatan orang Aceh sedemikian dikenal ketika menjadi guru bagi orang-orang di Nusantara ini tempo waktu? yaitu dengan mendidik orang-orang yang kelak sebagai cikal bakal hadirnya Wali Songo di Pulau Jawa.
Berfikir Lewat Organisasi Nyata
Khususnya di Yogyakarta, ratusan mahasiswa dari berbagai penjuru Aceh berdatangan ke sini tiap tahunnya. Memang, menuntut ilmu di perguruan tinggi adalah salah satu tujuan utama. Namun yang tidak kalah pentingnya adalah memiliki kesadaran dalam mengembangkan diri lewat berorganisasi dan bergaul dengan orang-orang berfikiran lain dari berbagai tempat. Organisasi adalah salah satu ruang terpenting dalam membangun mental kepemimpinan. Sesuatu yang tanpaknya semakin tidak perlu untuk dijalani bagi mahasiswa yang berduniakan layar gesek seperti sekarang ini. Di mana bagi mereka, berorganisasi mungkin cukup dengan membuat grup pada media sosial, dengan program membagi-bagikan tautan semacam “apam keubeue” tiap semenit sekali.
Ya, kita memang tidak butuh orang-orang yang pikirannya sekaku itu, yang mengagungkan teknologi, namun merendahkan pikiran, hati, dan segenap tubuh, yang telah sejak sekian lama menjadi ibu dari segala kelahiran benda-benda canggih di muka bumi. Kita harus bergerak lebih jauh untuk mengalaminya sendiri, dengan segenap jiwa-raga, dalam membangun diri ini senyata mungkin, yang bisa ditempuh lewat berorganisasi atau bersosialisasi dengan orang-orang cerdas dan bijak. Karena tidak mungkin juga merasakan atmosfir kota pendidikan ini hanya lewat jendela kampus, tempat tidur dan kamar mandi. Semuanya harus dialami, dirasakan, atau dinikmati. Itu sebelum waktu menjemput kita pulang dan kemudian mempertanggungjawabkan segala yang pernah kita dapatkan di sini.
Belajar berorganisasi atau bersosialisasi tidak juga dengan mendirikan berbagai macam perkumpulan baru tanpa aktifitas seperti yang banyak terjadi belakangan ini. Kita bisa belajar dari organisasi nyata yang telah lebih dulu mumpuni, dan tidak bisa lewat organisasi kampung yang kita bangun tadi sore. Karena bukankah tujuan kita berorganisasi itu untuk mengenal orang lain yang belum kita kenal dan belajar banyak dari mereka?
Di Yogyakarta, terdapat satu organisasi besar yang menaungi berbagai perkumpulan lain, baik yang berasal dari kabupaten maupun kampus-kampus. Ia adalah Taman Pelajar Aceh (TPA), organisasi yang telah lama menjadi saksi dan berperan penting atas lahirnya intelektual-intelektual di Aceh. Di sinilah kawan-kawan bisa saling mengasah kemampuan diri, berorganisasi untuk menyatukan Aceh yang tanpa sekat suku-suku, dan belajar lebih jauh untuk memahami dunia dengan identitas yang mumpuni. Akhirnya, semua hanya bisa ditempuh dengan berfikir dan melakukan apapun senyata mungkin. Selamat mengalami.

[Tulisan ini adalah materi yang dikeluarkan Tu-ngang Institut pada tanggal 19 Desember 2015, dalam acara Malam Keakraban mahasiswa Aceh di Yogyakarta, yang diadakan Taman Pelajar Aceh (TPA) Yogyakarta]

Segala sesuatu berasal dari air

THELES OF MILETUS (624-546 SM)

Sejak zaman kuno (antara abad ke8 sampai abad ke6 SM), orang-orang semenanjung Yunani secara bertahap membuat daerahnya menjadi kota negara. Mereka sudah mengembangkan sebuah Alphabet dalam sistem penulisan, serta awal dari apa yang sekarang diakui sebagai filsafat barat. Pada peradaban sebelumnya mereka telah bergantung kepada agama untuk menjelaskan fenomena alam yang ada disekiitar mereka; sekarang telah lahir generasi baru, yang berusaha untuk menemukannya secara hakikat, dan kemudian menjelaskannya secara rasional.
     yang pertama muncul dalam pemikir sains yang baru kita sadar adalah Theles dari Moletus, tidak ada yang ditemukan dari tulisannya. Tetapi kita tau bahwa ia memiliki pengetahuan yang baik tetntang ilmu geometri dan ilmu astronomi, dan dia dianngap telah meramalkan gerhana matahari di 585 SM. Pikiran praktis yang membuatnya percaya bahwa peristiwa yang ada di dunia ini bukan karena intervensi supernatural, tetapi memiliki penyebab yang alami dan mempunyai alasan yang akan mengungkapkan observasi.

Dasar dari Subtansi
         Thales penasaran dengan dasar sumber kehidupan, jadi dia bertanya "apa bahan dasar dari alam semesta?" gagasan bahwa segala sesuatu di alam semesta akhirnya dapat dikurangi menjadi satu substansi, yaitu teori monisme, kemudian Theles dan para pengikutnya untuk yang pertama kalinya mengusulkan itu dalam filsafat barat. Theles beralasan bahwa fundamental dari material alam semesta harus menjadi sesuatu dari sesuatu yang lain dapat dibentuk, serta menjadi kebutuhan yang penting untuk kehidupan, dan mampu bergerk juga bisa berubah-rubah. dia mengamati bahwa air sangat dibutuhkan untuk mempertahankan semua bentuk kehidupan, dan yang bergerak juga bisa berubah-rubah, dengan asumsi bentuk yang berbeda dari cairan es, padat dan kabut uap. Jadi dia menyimpulkan bahwa semua materi, terlepas dari sifat yang tampak jelas, air harus dalam beberapa tahap transformasi. Theles juga mencatat bahwa setiap darratan tmpaknya berakhir di tepi air, dari sini ia menyipulkan bahwa seluruh permukaan bumi berada di atas air, dari yang sudah terlihat jelas, ketika sesuatu terjadi menyebabkan gelombang atau trmor pada air, theles mengatakan, kita akan merasakannya ketika gempabumi sedang terjadi
         Namun yang menarik dari rincian teori Theles adalah, mereka bukanlah sebagai pengaruh besar dalam sejarah filsafat. sejatinya dia pada kenyataanya adalah orang yang pertama dikenal sebagai pemikir dalam hal mengkaji naturalistik, yaitu sebagai jawaban dasar untuk pertanyaan yang mendasar, yaitu bukan untuk menganggap bahwa objek dan peristiwa berubah dengan keinginan para dewa. Dengan demikian, ia dan kemudian filsuf dari sekolah melisianmeletakkan dasar-dasra untuk masa depan ilmiah dan pemikiran filosofis di seluruh dunia barat.

Kesimpulan 
        Thales adalah seorang filsuf yang mengawali sejarah filsafat Barat pada abad ke-6 SM. Sebelum Thales, pemikiran Yunani dikuasai cara berpikir mitologis dalam menjelaskan segala sesuatu. Pemikiran Thales dianggap sebagai kegiatan berfilsafat pertama karena mencoba menjelaskan dunia dan gejala-gejala di dalamnya tanpa bersandar pada mitos melainkan pada rasio manusia. Ia juga dikenal sebagai salah seorang dari Tujuh Orang Bijaksana (dalam bahasa Yunani hoihepta sophoi), yang oleh Aristoteles diberi gelar 'filsuf yang pertama. Selain sebagai filsuf, Thales juga dikenal sebagai ahli geometri, astronomi, dan politikBersama dengan Anaximandros dan Anaximenes, Thales digolongkan ke dalam Mazhab Miletos.

   Thales tidak meninggalkan bukti-bukti tertulis mengenai pemikiran filsafatnya. Pemikiran Thales terutama didapatkan melalui tulisan Aristoteles tentang dirinya. Aristoteles mengatakan bahwa Thales adalah orang yang pertama kali memikirkan tentang asal mula terjadinya alam semesta. Karena itulah, Thales juga dianggap sebagai perintis filsafat alam (natural philosophy).

Launching Buku 30 Tahun Dayah Jeumala Amal


     Buku setebal 144 halaman ini terdiri dari empat bab, bab pertama mengulas tentang Kontruksi Historis Dayah Jeumala Amal, Bab kedua tentang Konsep Pendidikan Terpadu Dayah Jeumala Amal, Bab ketiga tentang Potret Dayah Jeumala Amal Menuju 2020, dan Bab empat  tentang Tanggapan Masyarakat terhadap Dayah Jeumala Amal.

     Buku ini juga berisi tentang kiprah dan prestasi Jeumala Amal selama 30 tahun, dimana salah satu puncaknya berhasil menerapkan Manajemen Mutu berstandarkan ISO 9001: 2008 sejak 28 Desember 2011 dan meraih rekor MURI  dari Mesium Rekor Indonesia.

      Melalui buku ini kita akan menemukan visi dan harapan-harapan untuk Jeumala Amal kedepan, salah satunya melalui program Rencana Srategis (Rentra) Dayah Jeumala Amal dengan visi  Dayah Jeumala Amal Bermutu terbaik Tingkat Nasional Tahun 2020.

     Buku ini menarik ketika menceritakan bagaimana Jalinan silaturrahmi antara Dayah Jeumala Amal dengan masyarakat sekitar, juga adanya  komentar beberapa alumni dari beragam profesi yang merasakan langsung keberkahan dari Dayah Jeumala Amal. Hal ini turut menambah nilai plus buku 30 tahun  Dayah Jeumala Amal.


     30 tahun Dayah Jeumala Amal layak dibaca semua kalangan terutama kalangan pencinta pendidikan. Para guru dan Alumni. Buku ini ingin mengajak kita untuk sama-sama terpanggil membagun Jeumala, dan menegaskan diri  bahwa kita adalah bagian  dari Jeumala

sumber: www.jeumalaamal.org
127 Pegawai Kontrak UIN Suka Diberi Pembekalan

127 Pegawai Kontrak UIN Suka Diberi Pembekalan

Wakil Rektor III dan Kabiro AUK UIN Suka Memberi arahan kepada pegawai kontrak
Untuk meningkatkan kinerja pegawai perlu kebijakan instansi yang mendukung kesejahteraan pekerja. Hal ini dilakukan pimpinan kampus UIN Sunan Kalijaga dalam memperhatikan nasib 127 tenaga kontrak dan honorer yang bekerja di unit-unit kampus UIN Sunan Kalijaga dengan menggelar silaturohim bersama.
Kegiatan ini dihadiri Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum, Perencanaan dan Keuangan, Kepala Biro Administrasi dan Keuangan serta Kabag Organisasi, Kepegawaian dan Hukum UIN Sunan Kalijaga di ruang rapat PAU lantai satu UIN Sunan Kalijaga, Rabu (16/3).
Dalam diskusi tersebut kampus akan mengeluarkan kebijakan terkait kesejahteraan pegawai seperti mengikutsertakan dalam program BPJS, tunjangan profesi sesuai keahlian, pemenuhan fasilitas dalam bekerja dan ijin tugas belajar selama tidak mengganggu pekerjaan.
Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum, Perencanaan dan Keuangan Dr. H. Waryono, M.Ag berpesan, kita pada kesempatan ini patut bersyukur karena bisa silaturohim dengan pegawai dan mendengar aspirasinya. Selain itu, bekerja harus mengikuti peraturan yang benar bukan patuh pada pimpinan yang salah. “Misal kita belajar disiplin mematuhi aturan berpakaian dalam bekerja” tambah Waryono.
Sementara itu Kepala Biro Administrasi dan Keuangan Drs. Handarlin H.Umar menuturkan, kita sebagai manusia pasti mempunyai kelebihan dan kekurangan. Oleh karenanya dalam bekerja patut melaksanakan kewajiban dulu sebelum menuntut hak yang akan diterima. (ch/humas)

sumber: http://uin-suka.ac.id/

Kali Pait di kec. kalianyar

           ketika kita tracking ke kawah ijen di jawa timur, kita akan diperkenalkan dengan kali  pait yang berada sebelum sampai di tempat parkiran kawah ijen, atau berkisan antara 50 m jaraknya.


       
        Kali Pait sendiri adalah nama aliran sungai yang berasal dari rembesan danau Kawah Ijen. Air terjun ini merupakan bonus sesudah atau sebelum perjalanan anda di waktu berkunjung ke Kawah Ijen. Karena lokasi air terjun berada di pinggir jalan sekitar 50 meteran.

         Air terjun ini cukup unik. Mempunyai warna air berwarna hijau kekuningan, berasa asam , dan mempunyai kandungan belirang yang sangat tinggi.

secara administratif air terjun kalipahit berada di desa. kalianyar, kec. sampol, kab. bondowoso.



berikut ada beberapa foto dari Kali Pait: