Bangkitlah Manusia si Pemikir dari Aceh (homo sapiens dari Aceh)!


oleh: "tu-ngang" iskandar


Menceritakan tentang Aceh di hadapan kawan-kawan mahasiswa Aceh di Yogyakarta adalah suatu malu tersendiri bagi saya. Karena saya yakin bahwa pemuda-pemudi yang belajar ke luar Aceh telah membekali dirinya dengan identitas yang mapan tentang keAcehan, setidaknya pengetahuan yang cukup tentang realitas yang terjadi di Aceh saat ini, sebelum kemudian menunjukkan diri di hadapan oran-orang dari berbagai penjuru lain dan menyampaikan sesuatu tentang Aceh.
Walau sejujurnya saya juga ikut khawatir dalam berpikiran seperti di atas, karena sangat mungkin juga bahwa yang hadir di sini adalah kepala-kepala boh leupieng (kelapa yang dilobangi tupai atau yang labil berpegang pada tangkainya), yang hanya melakukan prosesi belajar karena di dorong oleh gaya-gayaan semata, agar dianggap keren dari kampung halamannya, agar dilihat sebagai orang yang memiliki pikiran atau otak. Namun pada kenyataannya hanyalah tengkorak tanpa isi, yang sangat mudah dimasuki oleh berbagai angin jahat dan liar dari tempat-tempat sampah, hingga tidak mampu mendeteksi dirinya sendiri sebagai manusia si pemikir (homo sapiens), dan lebih layak ditendang ke sana ke mari seperti halnya bola boh leupieng.
Manusia si pemikir dari Aceh (homo sapiens Aceh), menjadi harapan terakhir masyarakat Aceh atas berbagai kehancuran di Aceh, baik yang telah terjadi maupun yang sedang berlangsusng. Bahwa tiada jalan lain yang harus ditempuh untuk mengangkat orang Aceh ke tempat yang lebih menjanjikan, kecuali dengan sebuah kecerdasan dan kebijaksanaan (hasil berfikir) yang mapan. Apalagi kaum berpendidikan, yang jelas harus menggunakan otaknya itu untuk mengubah keadaan buruk menjadi baik, dan bukankah otak kita itu tidak sekedar untuk mengisi ruang kosong dalam tempurung kepala kita? Maka gunakanlah.
Pengembangan berfikir tentu bisa diukur dari cara kita bersikap terhadap lingkungan atau reaksi untuk berbagai ilmu pengetahuan yang terdapat di sekitar kita. Kepekaan terhadap sumber-sumber ilmu yang bergerak seperti dari pergaulan sosial ataupun dari sumber-sumber tetap lain seperti buku-buku sangat berpengaruh dalam mengasah berfikir dan membentuk karakter diri. Seseorang yang hanya menghabiskan waktu dengan bermain game di tempat tidur sehabis pulang kuliah tentu akan berbeda tingkat intelektualnya dibandingkan dengan orang yang memilih bergaul sambil berdiskusi tentang berbagai hal. Begitupun dengan orang-orang yang hanya sibuk bergaul, tanpa menyempatkan diri membaca buku-buku penting. Kenyataan bahwa orang-orang terbaik selalu muncul dibalik meja-meja diskusi dan rak buku.
Melakukan proses berfikir adalah juga suatu cara dalam membersihkan kabut tebal yang ada dalam kepala kita sendiri. Belajar adalah tentang suatu jalan yang kita tempuh dalam rangka menggapai pikiran kita yang utuh. Berbagai motivasi belajar jangan sampai menghapus berbagai hal penting yang ingin kita gapai di dunia ini. Karena seringkali kesia-siaan dalam berjuang itu muncul ketika dalam melakukan proses, motivasinya adalah bersifat badani dan personal semata. Makanan yang enak, pakaian mahal lagi bermerk, perempuan yang banyak, mobil dan rumah mewah, hiburan yang gemerlap, ketenaran, kekuasanan, atau uang yang melimpah, merupakan orientasi dari proses belajar yang kita tempuh ini. Orientasi yang menganggap bahwa kesempurnaan hidup atau kemerdekaan terletak pada kenikmatan badani itu telah berlaku pada pendahulu kita, dan sangat mungkin itu pun bisa terjadi pada kita, ketika kita dibutakan dengan kabut di dalam hati dan pikiran.
Merefleksikan itu semua, mari kita mundur sejenak menuju 1000 Tahun Sebelum Masehi (SM), di mana kesadaran besar telah muncul setelah kenikmatan yang sifatnya badani itu tidak mampu membuktikan apa-apa tentang kesempurnaan atau kemerdekaan hidup. Kesadaran itu terjadi pada orang Yunani, sebuah bangsa yang pada awalnya hanya menghabiskan hidup dengan meminum anggur, bermain perempuan, menikmati tarian perangsang birahi, menyanyi lagu-lagu yang dapat menyenangkan, dan berolahraga untuk tetap bisa menikmati kelezatan yang ternyata semu itu. Beruntunglah mereka, fajar kemudian menjemput, untuk beranjak dari kebodohan itu semua. Lalu ahli-ahli filsafat dan sejarah Yunani pun menulis buku-buku, menggubah seni-seni menjadi mencerahkan, dan muncul di mimbar-mimbar untuk berpidato. Di mana menjadi guru bagi sesamanya adalah jalan awal yang mereka tempuh, seperti halnya Jepang setelah bom Hiroshima. Sekarang, bukankah kita pun telah mengenal nama-nama besar yang mendunia dari Yunani, lewat pemikirannya yang mencerahkan, seperti Plato, Aristoteles, Socrates, Homerus, Aristophanes, Aeschylus, Thucydides, dan masih banyak lainnya.
Kesadaran puncak dalam menuju kesempurnaan hidup seperti yang ditunjukkan bangsa Yunani bukankah pernah juga dibuktikan oleh bangsa Aceh di masa lalu? Itu bisa kita lihat dari hadirnya kitab-kitab buatan ulama Aceh sampai ke pelosok-pelosok di Asia Tenggara, melalui hikayat-hikayat yang bisa membangunkan lelaki-lelaki Aceh dari empuknya kasur dan hangatnya pelukan istri untuk menuju medan tempur penuh sakit dan darah, lewat hadihmaja-hadihmaja yang sampai sekarang masih relevan diikuti, dan berbagai jenis ukiran-ukiran indah yang dapat mencerahkan seperti yang terdapat di batu-batu nisan Aceh.
Betapa besarnya pengaruh berfikir, hingga mampu merubah sebuah tatanan dunia. Lalu apakah selama ini kita membudayakan berfikir? atau setidaknya belajar cara berfikir? itu semua adalah pertanyaan yang seharusnya muncul pada diri yang mengaku sebagai kaum intelektual seperti mahasiswa. Berfikir memang selalu muncul ketika kita sedang menghadapi masalah. Tapi apakah otak kita terlalu kecil untuk menampung berbagai persoalan yang menyelimuti masyarakat banyak, hingga hanya mampu mendeteksi persoalan kita sendiri untuk dipikirkan dan diselesaikan sendiri. Ini terletak pada sejauhmana kebinatangan personal itu mampu kita taklukkan sendiri, lalu maju lebih jauh ke dalam sisi kemanusiaan.
Aceh Butuh Dipikirkan
Sebagaimana bangsa lainnya yang kita akui keberadaannya karena berfikir, bangsa Aceh juga harus mampu bangkit untuk menunjukkan bahwa Aceh itu masih “ada” dan bukan hanya sebagai nama dari salah satu provinsi di Indonesia, bukan juga karena di sana dengan mudahnya tumbuh ganja, bukan pula karena orang Aceh mampu berperang puluhan tahun lamanya, dan bukan juga karena tsunami pernah menghantam negeri paling barat Pulau Sumatra itu, melainkan “adanya” karena “Aceh itu berfikir”, seperti kata-kata yang dilontarkan oleh Rene Descartes, seorang filsuf ternama dari Perancis, yang berbunyi; “aku berfikir maka aku ada” (Latin: cogito ergo sum).
Memikirkan Aceh tentunya bisa dari manapun, termasuk dari balik Gunung Merapi ini sekalipun. Aceh layaklah kita pikirkan atau jika lebih hinanya kita dikasihani, sebagaimana seorang tua renta yang sedang mengemis untuk menunggu dipulihkan rasa sakitnya. Bukankah tidak ada tangan, hati, dan pikiran yang lebih dekat dengan Aceh selain anaknya sendiri? Itu adalah kita, “anak Aceh”. Sebagai anak Aceh, kita tidak sekedar dituntut untuk punya rasa tanggungjawab yang lebih, namun juga harus memiliki “rohnya Aceh”, sebagai identitas; seperti ketangguhan dalam mental, keteguhan dalam mempertahankan kebenaran, dan kesetiaan pada perintah Tuhan. Dan selama kita mempunyai ilmu, ditambah dengan iman, tidak mungkin kebodohan yang bersenjata dan kelaliman yang kuat itu menang. Yang dibutuhkan adalah saling mendukung dan bukan melakukan pembunuhan karakter atau saling menekan kemajuan sesama. Orang-orang terdekat harus menjadi pendorong dan guru yang baik dalam proses belajar atau untuk menuju kesuksesan di berbagai bidang. Bukankah kehebatan orang Aceh sedemikian dikenal ketika menjadi guru bagi orang-orang di Nusantara ini tempo waktu? yaitu dengan mendidik orang-orang yang kelak sebagai cikal bakal hadirnya Wali Songo di Pulau Jawa.
Berfikir Lewat Organisasi Nyata
Khususnya di Yogyakarta, ratusan mahasiswa dari berbagai penjuru Aceh berdatangan ke sini tiap tahunnya. Memang, menuntut ilmu di perguruan tinggi adalah salah satu tujuan utama. Namun yang tidak kalah pentingnya adalah memiliki kesadaran dalam mengembangkan diri lewat berorganisasi dan bergaul dengan orang-orang berfikiran lain dari berbagai tempat. Organisasi adalah salah satu ruang terpenting dalam membangun mental kepemimpinan. Sesuatu yang tanpaknya semakin tidak perlu untuk dijalani bagi mahasiswa yang berduniakan layar gesek seperti sekarang ini. Di mana bagi mereka, berorganisasi mungkin cukup dengan membuat grup pada media sosial, dengan program membagi-bagikan tautan semacam “apam keubeue” tiap semenit sekali.
Ya, kita memang tidak butuh orang-orang yang pikirannya sekaku itu, yang mengagungkan teknologi, namun merendahkan pikiran, hati, dan segenap tubuh, yang telah sejak sekian lama menjadi ibu dari segala kelahiran benda-benda canggih di muka bumi. Kita harus bergerak lebih jauh untuk mengalaminya sendiri, dengan segenap jiwa-raga, dalam membangun diri ini senyata mungkin, yang bisa ditempuh lewat berorganisasi atau bersosialisasi dengan orang-orang cerdas dan bijak. Karena tidak mungkin juga merasakan atmosfir kota pendidikan ini hanya lewat jendela kampus, tempat tidur dan kamar mandi. Semuanya harus dialami, dirasakan, atau dinikmati. Itu sebelum waktu menjemput kita pulang dan kemudian mempertanggungjawabkan segala yang pernah kita dapatkan di sini.
Belajar berorganisasi atau bersosialisasi tidak juga dengan mendirikan berbagai macam perkumpulan baru tanpa aktifitas seperti yang banyak terjadi belakangan ini. Kita bisa belajar dari organisasi nyata yang telah lebih dulu mumpuni, dan tidak bisa lewat organisasi kampung yang kita bangun tadi sore. Karena bukankah tujuan kita berorganisasi itu untuk mengenal orang lain yang belum kita kenal dan belajar banyak dari mereka?
Di Yogyakarta, terdapat satu organisasi besar yang menaungi berbagai perkumpulan lain, baik yang berasal dari kabupaten maupun kampus-kampus. Ia adalah Taman Pelajar Aceh (TPA), organisasi yang telah lama menjadi saksi dan berperan penting atas lahirnya intelektual-intelektual di Aceh. Di sinilah kawan-kawan bisa saling mengasah kemampuan diri, berorganisasi untuk menyatukan Aceh yang tanpa sekat suku-suku, dan belajar lebih jauh untuk memahami dunia dengan identitas yang mumpuni. Akhirnya, semua hanya bisa ditempuh dengan berfikir dan melakukan apapun senyata mungkin. Selamat mengalami.

[Tulisan ini adalah materi yang dikeluarkan Tu-ngang Institut pada tanggal 19 Desember 2015, dalam acara Malam Keakraban mahasiswa Aceh di Yogyakarta, yang diadakan Taman Pelajar Aceh (TPA) Yogyakarta]

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

tulis komentar anda di sini